Saat ini banyak yang menyelenggarakan ulang tahun
pernikahan. Apakah hal ini diperkenankan agama? Bagaimana hukumnya?
Baru saja seorang saudara merayakan ulang tahun
pernikahannya yang kelima. Ini sesuatu yang unik, sebab sebelumnya, setahu
penulis, ia tak pernah menyelenggarakan acara semacam ini. Apakah itu untuk
tahun pertama, kedua, ketiga, dan keempat dari pernikahannya. Namun tiba- tiba
saat datang kerumahnya, ia dengan tersenyum riang menyambut begitu senangnya.
“Kebetulan kamu datang. Tunggu sebentar ya, kita mau selamatan ulang tahun
pernikahan,”katanya.
Alangkah gembiranya diajak makan – makan gratis,
apalagi ini termasuk private party. Acara hanya mengundang keluarga
dekat saja, tak lebih dari 20 orang. Ayam goring, kwetiau, beraneka
buah-buahan, dan makanan lain terhampar di karpet. Semua undangan duduk lesehan
sambil menikmati minuman yang disediakan.
“Sudah lima tahun kami menikah. Rasanya sebentar,
tapi saat dijalani begitu lama. Kerikil, aral rintangan mewarnai perjalanan
ini. Kami belajar menjadi suami, istri, dan orang tua yang baik,” kata tuan
rumah saat sambutan.
Acara itupun diakhiri dengan makan bersama,
menyambung doa yang dibacakan orang tua. Meski sebutannya private party,
tapi sebetulnya ia adalah selamatan sederhana yang guyub dan penuh keakraban.
Saat pulang dari sana, kami turut berdoa untuk
kebahagiaan mereka. Semoga pernikahannya harmonis dan selalu menuju keadaan
yang lebih baik dari hari ke hari. Saling mencintai dengan penuh, saling
melayani dengan tulus, dan menjadi suami serta istri yang sebenar – benarnya.
Di luar doa itu, di benak penulis timbul
pertanyaan. Bukankah ada yang mengatakan ulang tahun kelahiran itu haram?
Bagaimana dengan ulang tahun pernikahan? Tapi benarkah segala jenis perayaan
ulang tahun tidak diperbolehkan?
Meski tak setenar ulang tahun kelahiran, ulang
tahun pernikahan di masyarakat kita sebetulnya sudah menjadi sesuatu yang
jamak,”Ulang tahun perak”,”Ulang tahun emas”,”Ulang tahun sewindu”, ini beberapa
bentuk ulang tahun pernikahan yang kerap terdengar.
Hukum ulang tahun pernikahan
Dalam melihat fakta ini ada dua pendapat yang
mengemuka. Satu kelompok menyebut bahwa ulang tahun haram, sementara di
sebelahnya menegaskan tidak ada masalah. Untuk itu di sini penulis akan
menyebutkan dua pendapat itu agar menjadi pertimbangan kita bersama.
Pertama, yang mengharamkan mengemukakan argument
pendapatnya dengan menegaskan begini: “Tidak pernah ada (dalam syari’at
tentang) perayaan dalam Islam kecuali hari Jum’at yang merupakan Id (hari Raya)
setiap pekan, dan hari pertama bulan Syawal yang disebut hari Idul Fitri dan
hari kesepuluh Dzulhijjah atau disebut Idul Adha – atau sering disebut hari Ied
Arafah – untuk orang yang berhaji di ‘Arafah dan hari Tasyriq (tanggal ke
11,12,13 bulah Dzul-Hijjah) yang merupakan hari Id yang menyertai hari Idul
Adha.
Perihal ini lahir orang – orang atau anak – anak
atau hari ultah perkawinan dan semacamnya, semua ini tidak disyariatkan dalam
(Islam) dan merupakan bid’ah yang sesat.
Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa perayaan
ulang tahun itu tradisi orang kafir. Padahal Nabi Muhammad saw secara tegas
menyatakan bahwa “Barang siapa yang meniru – niru suatu kaum maka ia menjadi
bagian dari mereka.” Karena itu hal semacam ini diharamkan oleh agama.
Demikian dikatakan Syaikh Muhammad Salih
al’Utsaimin yang disebutkan dalam Al-Bid’u wal-Muhdatsaat wa maa laa Asla
Lahu, halaman 224. Hal yang sama juga ditegaskan dalam Fatawa
fadhilatusy Syaikh Muhammad as-Saalih Al-‘Utsaimin, jilid 2, halaman 302.
Landasan dari pendapat ini adalah sabda Nabi
Muhammad saw yang menyatakan:
“Jauhilah perkara – perkara baru (bid’ah).
Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam
Neraka”.
Dalam literature lain juga disebutkan bahwa
perayaan ulang tahun itu tradisi orang kafir. Padahal Nabi Muhammad saw secara
tegas menyatakan bahwa “Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia
menjadi bagian dari mereka.” Karena itu hal semacam ini diharamkan oleh agama.
Ulang Tahun pernikahan diperbolehkan
Sementara itu ada pula yang membolehkan ulang tahun
pernikahan. Ada beberapa dalil yang digunakan sebagai dasar. Berikut beberapa
argument yang disampaikan.
Pertama, dalam Ushul fiqh terdapat kaidah al-ashlu
fi asy’ya al-ibahah illa ma dalla ad-adlilu ‘ala khilafihi (Dasar dari
segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil shahih yang melarangnya).
Kaidah hukum itu berdasarkan firman Allah, “Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S Al-Baqarah:29).
Maksudnya dalam setiap hal di luar persoalan
ibadah, pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada dalil yang shahih dan jelas
mengenai keharamannya. Misalnya makan daging babi dan minum khamr, keduanya
secara jelas dan tegas disebutkan keharamannya dalam Al-Quran. Prinsip inilah
yang bisa dipakai dalam menentukan hukum segala sesuatu selain ibadah dan
akidah.
Hal ini dipertegas oleh sabda Nabi saw, “Apa yang
Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka ia adalah halal (hukumnya) dan apa yang
Dia haramkan, maka (hukumnya) haram. Sedang apa yang Dia diamkan, maka ia
adalah suatu yang dimaafkan. Maka terimalah pemaafan-Nya, karena Allah tidak
mungkin melupakan sesuatu”.(HR Hakim dan Bazzar)
Rasulullah juga bersabda, “Sesuatu yang halal itu
adalah apa yang di halalkan Allah dalam kitab-Nya; dan sesuatu yang haram itu
adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya; dan apa yang Allah diamkan
(tidak sebutkan) berarti termasuk apa yang dimaafkan (dibolehkan) untuk
kamu.”(HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Bahkan Rasulullah saw melarang umat Islam
mencari-cari alasan untuk mempersoalkan sesuatu yang Allah sengaja diamkan.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa hal fardhu, maka
jangan kamu abaikan; dan telah menggariskan beberapa batasan, maka jangan kamu
langgar; dan telah mengharamkan beberapa hal, maka jangan kamu terjang; serta
telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu tanpa unsure kelupaan,
maka jangan kamu permasalakan.”(HR Dar al-Quthni)
Dengan dalil-dalil ini kelompok yang membolehkan
ulang tahun pernikahan menegaskan bahwa hal itu bukan sesuatu yang haram. Ulang
tahun merupakan sesuatu yang tidak pernah diharamkan maupun dihalalkan. Karena
itu secara dasar hukumnya mubah alias boleh.
Namun demikian, kebolehan ini bisa menjadi haram
bila memberatkan bahkan menggunakan cara – cara yang tidak sesuai dengan
syariat apalagi mengandung hal – hal yang diharamkan Allah swt. Seperti ,
alcohol, zina, maksiat, serta hal – hal yang memang secara prinsipil telah
ditegaskan keharamannya oleh Allah swt dan Rasulullah saw.
Jika dalam pengadaanya lebih merupakan rasa syukur
kepada Allah atas nikmat perjalanan pernikahan yang sudah dilalui, maka itu
diperkenankan. Misalnya dengan mengadakan selamatan atau sekedar berbagi
makanan dengan saudara, tetangga, atau teman. Bahkan sedekah selamatan yang
diadakan bisa memperoleh pahala karena berbagi rejeki dan kebahagiaan dengan
orang lain merupakan anjuran agama.
Menilik dari berbagai argument yang dikemukakan dua
kelompok ini, menurut hemat penulis, ulang tahun pernikahan bukanlah sesuatu
yang pasti ketentuan hukumnya karena Al Quran maupun hadits tidak pernah
menyebutkan soal ini. Ia bisa haram, bisa boleh, atau bisa makruh. Ia menjadi
bagian dari budaya masyarakat yang tidak dianjurkan pengadaannya sehingga tidak
menjadi sesuatu yang sunnah atau wajib.
Pelaksanaan ulang tahun sangat diserahkan kepada
niat sang penyelenggara. Apakah untuk hura-hura, pesta pora, bersenang-senang,
sombong-sombongan, atau dengan hati tulus ingin bersyukur kepada Allah atas
nikmat pernikahan yang ia terima? Atau dengan niat hendak berbagi kebahagiaan
dengan sesama, baik saudara, teman, tetangga maupun kaum dhu’afa?
Jika niat baik yang menjadi dasar dan sepanjang
acara dipenuhi hal – hal yang terpuji, maka ia menjadi boleh. Tapi jika niat
dan pelaksanaanya melanggar norma-norma agama, maka jelas agama tidak pernah
membolehkan. Bukanlah Nabi Muhammad saw telah menegaskan, “Innamal a’malu
binniyati”, sesungguhnya (nilai) segala amal dilihat dari niatnya. Karena itu
waspadalah dengan hatimu.
sumber : Anggun Majalah Pengantin Muslim Edisi 09 /
II / Oktober 2009
No comments:
Post a Comment